Apa yang kalian cari? Bangun di antara gelap dan terang hari baru, mempersiapkan diri ‘tuk kembali mengulang kebosanan. Pergi menyusuri jalan yang sama, pun tujuan yang tak berubah. Mendapati bertumpuk lipat pekerjaan yang siap kalian lahap. Lagi, lagi, dan terus. Setelahnya pulang dengan pikiran yang letih, juga beban perasaan. Pekerja, oh pekerja. Oh kita.

Kita ialah Manusia Pekerja. Kita adalah kerumunan dalam sebidang ruang. Kita yang diberi perintah. Kita yang menjalankan perintah. Kita yang terbiasa menghirup asap pembakaran. Kita yang terbiasa dengan suara bising menceking. Kita dengan tangan yang terasah sebab lama pengalaman. Dan Kita, masihlah menunggu demi sebuah upah, yang tak jarang membawa perasaan kalah. Lalu, dunia menyeru, 

“Bersatu, dan tuntutlah hak kalian. Bersama lebih didengar. Serentak lebih menjerat.”

Menjelang akhir abad ke-19 peristiwa besar menyangkut pekerja terjadi di Amerika Serikat. Tragedi Haymarket, menuntut pengurangan jam kerja yang semula sembilan belas hingga dua puluh jam, menjadi delapan jam setiap harinya. Delapan jam untuk bekerja, delapan jam untuk istirahat , dan delapan jam untuk rekreasi. Diikuti sekitar 400.000 pekerja, aksi demonstrasi besar-besaran itu berubah menjadi tragedi tatkala pihak keamanan mengambil langkah untuk melesatkan peluru senjata mereka. Akibatnya, ratusan demonstran tewas, dan para pemimpin aksi tersebut ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. 

Juli 1889, dalam Kongres Sosialis Dunia yang diselenggarakan di Paris menetapkan peristiwa Haymarket sebagai Hari Buruh Internasional, yang biasa kita kenal dengan istilah May Day. Ditetapkannya tanggal 1 Mei – terjadinya peristiwa Haymarket – sebagai Hari Buruh Internasional merupakan langkah dan upaya pemersatu kaum buruh di seluruh dunia untuk bergerak bersama menyuarakan tuntutan mereka. Bersama akan lebih didengar. Serentak akan lebih menjerat.

Di negeri kita sendiri, peringatan Hari Buruh nampaknya selalu riuh. Meski ditetapkan sebagai hari libur nasional, para buruh gencar melaksanakan aksi demonstrasi. Tuntutan-tuntutan lama yang belum terkabul kembali disuarakan, dan tuntutan-tuntutan baru melayang dalam orasi-orasi yang mengagitasi. Utamanya, tuntutan yang berkumandang masihlah seputar kenaikan upah, penghapusan sistem kerja kontrak dan outsourching. Kenaikan upah sekiranya akan terus digalakkan walau tuntutan upah minimum pada aksi sebelumnya telah dikabulkan. Betapa kenaikan upah selalu diiringi dengan kenaikan harga bahan pokok pula? Jika begitu, tentu saja remis. Pun sistem kerja kontrak dan outsourching memang kerap menjadi bayang-bayang yang mengkhawatirkan. Kemana kita akan pergi setelah ini? Putus kontrak, (perpanjang kontrak), cari kerja lagi, tunggu panggilan, diterima (syukur), teken kontrak, putus kontrak, … dst. Apakah demikian siklus kehidupan manusia?

Di negeri yang lebih condong terhadap kapitalisme ini, memang banyak tenaga-tenaga kerja tercerap. Banyaknya pabrik yang berdiri merupakan indikasi bahwa negeri kita merupakan pasar besar. Pada lain hal, tenaga kerja di negeri kita mau dibayar murah. Perusahaan-perusahaan asing tegak, pekerja-pekerja lokal mengapmengap. Negeri kita rupanya memang belum dapat dikatakan mandiri, terlihat dari banyaknya produk-produk asing yang mendominasi pasar. Di setiap gang orang-orang ngobrol soal sepeda motor, namun kenapa kita tak mampu bikin motor sendiri? Malah parahnya cenderung memuja-muja produk asing tersebut, sebagai contohnya ialah para pecinta kendaraan

Tak setuju pada komunis, tapi mental benar-benar proletariat. Semangat kapitalis dirasa kurang mudah dijumpai. Orang-orang cukup puas dengan pilihan bekerja. Jadi karyawan tetap adalah anugerah, PNS adimanusia. Tak ada yang salah akan pilihan itu, sebab kita hidup di negeri yang belum sepenuhnya dapat memberdayakan dan mensejahterakan para pekerja pada setiap tingkatannya. Kita masih dapat menjumpai buruh tani yang telah bekerja keras, namun tetap hidup melarat. Buruh pabrik yang tidak pernah mampu membeli produk yang dia sendiri sudah kerjakan. Lalu dunia kembali menyeru, 

“May Day, May Day.” 

Semula sebuah peristiwa hadir dengan tragedi demi menuntut hak. Kemudian, setiap tahunnya kita memperingati hari tersebut dengan menyuarakan tuntutan-tuntutan. Lagi, lagi, dan terus. Pekerja, oh pekerja. Oh kita.

Jakarta, Mei 2017

Tinggalkan komentar