Berbicara tentang dunia perkuliahan bukanlah melulu mengenai buku dan buku. Juga tak menerus tentang tugas dan absensi. Mahasiswa datang dengan segenggam buku. Mahasiswa pulang dengan setumpuk tugas. Memang terlalu, terlebih mahasiswanya sendiri. Sanggup membeli buku, tapi tak mampu membacanya. Bisa hadir dalam kelas, tapi tak larut dalam perkuliahan. Halah orang.

Perkuliahan sebagaimana fungsinya merupakan lembaga pendidikan yang melatih mahasiswanya mampu berpikir secara ilmiah. Nah, bagaimana mungkin berpikir secara ilmiah jika berpikir secara logika yang seharusnya dipelajari ketika sekolah menengah saja masih sering ngawur? Aduhh orang. Namun di samping permasalahan itu, atmosfir kehidupan kampus memang memiliki daya tarik tersendiri. Dalam hal ini, yang paling utama adalah pergaulan.

Bergaul memang dapat kita lakukan di mana saja dan terhadap siapa saja. Dalam kaitannya dengan kehidupan kampus, pergaulan bukan hanya sebatas saling tegur sapa. Pergaulan yang seharus-harusnya dibudayakan dalam kampus adalah pergaulan intelektual. Ilmu semata-mata bukan hanya berasal dari dosen. Ilmu juga ada pada daftar absensi kelas. Namun, lagi-lagi hal tersebut hanyalah berupa pepesan kosong jika tidak terbangunnya pergaulan intelektual. Jika hal-hal yang dibicarakan hanya seputar Ih cowok keren. Oh, cewek semok. Kita mau hangout ke mana nih sepulang ngampus?”, atau “Sudah berapa kali kau pernah bercinta, ML?” Makan tanah. Dan yang parahnya lagi adalah masalah kekhawatiran tentang masa depan yang menjangkit para mahasiswa. Tak jarang mahasiswa yang khawatir ketika lulus nanti mau kerja apa, bahkan hal tersebut terjadi pada para mahasiswa dari universitas yang unggul sekalipun. Penulis memetik kisah dari esai Goenawan Muhammad, dimana ada seorang anak yang tidak bersekolah namun tahu ilmu menanam tidak merasa khawatir tentang kehidupannya, tak khawatir tentang masalah perutnya. Di samping itu ada anak yang bersekolah, namun ketika lulus dan mendapat ijazah dia malah bingung apa yang mesti dia lakukan dengan selembar ijazah itu dan mulai khawatir akan masa depannya, terlebih urusan perut. Memanfaatkan situasi seperti itu, muncul banyak lembaga perusahaan di bidang pendidikan yang memberikan menu “Lulus Dijamin Dapat Kerja” untuk menarik minat orang-orang berkuliah di tempatnya. Keinginan berkuliah hanya untuk mendapat gelar dan kemudahan dalam memeroleh kerja bukanlah hal yang baru lagi dalam kehidupan masyarakat, khususnya Indonesia. Tujuan seorang mengenyam pendidikan sebatas hanya untuk memeroleh, bahkan menuntut pengakuan dari orang lain. Eksistensi pribadi yang sebenarnya tidak eksklusif.

Kembali lagi dalam pokok bahasan mengenai pergaulan intelektual. Penulis bukalah seorang munafik yang mengesampingkan segi-segi pergaulan lain di luar segi intelektual. Bercanda, saling menggoda, membicarakan hal remeh-temeh juga bagian penting dalam sebuah pergaulan, hanya saja setiap hal perlulah memiliki kadar dan penempatan yang tepat. Pun intelektual yang dimaksud tidak mesti menyangkut hal-hal yang terkesan “berat” dengan selalu dibungkus oleh suasana yang serius, melainkan intelektual ialah sesuatu yang memiliki “isi”, yang terkadang dapat diselipkan dalam senda gurau sekalipun. Dalam hal ini medium yang paling tepat adalah dengan berdiskusi, menyatakan pendapat, pendapat sendiri lebih khususnya. Memang kita tidak dapat menilai seenaknya orang yang enggan berpendapat atau cenderung pendiam, sebab diam juga merupakan hak seseorang – penulis sendiri pun merupakan seorang dengan tipe kepribadian introvert. Dengan mempertimbangkan faktor tersebut, maka penulis mengambil judul dalam tulisan ini, yaitu Bunyi dari Kadar Alkohol

Tak dapat dipungkiri bahwa alkohol bukanlah suatu hal yang tabu dalam kehidupan kampus. Tujuan dari menenggaknya saja yang mungkin berbeda-beda. Namun, dalam beberapa pengamatan penulis alkohol mampu menjadikan seseorang berani berbicara, berani mengemukakan pendapat, mengungkapkan kejujuran-kejujuran, dan berkata dengan melibatkan perasaan. Tentulah hal ini sebaiknya disesuaikan dengan kadar alkohol yang pas sehingga tidak sampai menenggelamkan akal sehat. Seorang teman penulis pernah bercerita bahwa salah satu dosen di kampusnya memperbolehkan mahasiswanya membawa sekaleng bir untuk diminum ketika beliau memberikan kuliah. Tentulah hal tersebut bertujuan agar mahasiswa lebih berani dalam mengemukakan pendapat atau bertanya sekalipun. Intinya, mahasiswa berani untuk ber-BUNYI. Kita juga dapat melihat dalam berbagai karya literasi maupun film, khususnya Eropa dan Amerika, terdapat penggalan bahwa ketika seseorang hendak berangkat kerja,  atau sebelum dua orang mulai berbicara tentang hal serius, mereka menenggak sloki minuman terlebih dahulu. Tentu banyak orang lebih cenderung menganggap bahwa alkohol diperlukan orang-orang di Eropa untuk menghangatkan diri mereka dari kondisi cuaca yang sangat dingin. Sekiranya memang benar begitu, namun tidak salah pula mengganggap bahwa alkohol tersebut diperlukan untuk dapat menghasilkan dan memperlancar bunyi. Tentulah lagi-lagi penulis mengingatkan tentang kadar yang mesti disesuaikan. Dengan alkohol, pergaulan intelektual dapat dibangun. Tanpa alkohol sekalipun sesungguhnya sangat, sangat bisa.

Jakarta, 25 April 2017

Tinggalkan komentar