Melihatnya. Siapa? Yang melihat? Aku. Oh, sebelum aku. Titik cahaya nun jauh itu. Hanya satu.

“Titik ialah lubang, anak-Ku. Ialah pintu yang menghantarkan. Pada dunia. Pada rupa. Mendekat padanya dan kau akan terjerat tanpa sempat mengetuk. Mendatanginya akan melenyapkan sebagian kamu. Terang itu menjadikan hampir-hampir buta. Dan buta bukanlah gelap. Melainkan sesuatu yang mendengkur. Dengan begitu kau akan sulit mengenal.”

“Lubang ialah celah, kasih-Ku. Bebijian retak muncul ke permukaan sebab mengisi celah. Biar yang jadi akar tetap tinggal agar mengingat. Sedang batang, dahan, ranting dan dedaun mengajar bebuahan perihal yang tak terlihat. Hingga masak dan menyuguhi aroma. Yang pada saatnya nanti bebuahan itu tinggalah biji yang pecah, kemudian jadi akar yang akan mengingat pula. Batang yang bertumbuh, dahan yang membentang, ranting yang menari, serta dedaun yang bernyanyi. Mengajarkan bebuahan lagi.”

“Celah ialah jalan, sahabat-Ku. Dan kau tahu, jalan rumit berliku. Jangan coba menghafalnya, atau kau akan tersesat. Ikuti saja tanda-tanda. Akar masihlah mengingat. Tanda-tanda mengajari perihal yang tak terlihat. Namun, kau akan sulit mengenalnya, sebab sebagian kamu telah lenyap.”

“Titik cahaya nun jauh itu. Sambangilah ia jika kau kenan. Perbekalan telah disiapkan. Tidak untuk dihabiskan, melainkan diisi. Berbagilah pada kawan di sana. Hal demikian tiada mengurangi. Sampai pada saatnya, pulanglah, kembalilah utuh.”

Jakarta, 15 April 2016

Tinggalkan komentar