Seniman besar hadir, sebuah mahakarya lahir. Seniman besar mati, mahakarya tetap abadi. Gajah mati meninggalkan gading. Melampaui batas zaman, meninggalkan ciri zaman. Seperti demikian kiranya kekuatan dari mencipta. Meski raga telah tiada, apa yang pernah dicipta menjadikan nama seorang tetap dikenang. Kita sebut saja nama-nama besar seperti Michael Angelo, Leonardo da Vinci, Vincent van Gogh, Edvard Munch (karya di atas, The Scream) dalam seni lukis. Voltaire, Eiji Yoshikawa, Kahlil Gibran dalam seni literasi. WA Mozart, Beethoven, Frederic Chopin dalam musik klasik, dan masih banyak lagi nama-nama seniman besar lainnya. Dari dalam negeri sendiri ada pelukis Affandi, komposer musik Yocky Suryo Prayogo (khusus yang ini orangnya masih hidup. Sehat walafiat. Aamin) – yang sebentar lagi akan melangsungkan konsernya di Jakarta, dan ada pula penyair Amir Hamzah, Chairil Anwar, juga WS Rendra. Nama mereka tetap dikenang karena mereka mencipta, mereka berkarya, mereka men-JERIT.

Mahakarya. Masterpiece. Apa yang kita sebut sebagai mahakarya merupakan suatu karya besar, gemilang, dan fenomenal yang pernah diciptakan dari tangan seseorang. Tak ayal orang-orang menganggap pencipta dari suatu mahakarya sebagai seorang jenius. Leonardo da Vinci dengan Monalisa, Mozart dengan Requiem, Gibran dengan The Prophet, dan banyak seniman lain dengan karya besarnya. Mereka memang jenius. Akan tetapi bukan hanya kejeniusan dari pencipta karya yang tampak, melainkan juga terdapat jeritan dari suatu mahakarya. Seniman menjerit lewat karyanya. Bahkan penulis tidak sangsi lagi kalau pencipta karya lebih menginginkan orang lain untuk mendengar jeritannya dibanding melihat kejeniusannya.

Dalam setiap mahakarya terdapat cerita, juga rahasia, yang kadang membuat repot banyak orang. Mahakarya lahir bukan tanpa sebab dari penciptanya. Seperti apa yang dikatakan oleh Yocky Suryo Prayogo pada sebuah acara penganugerahan bahwa musik bukan hanya soal nada, melainkan bagaimana mengolah persoalan-persoalan dalam hidup menjadi sebentuk nada. Dengan demikian kita ketahui bahwa latar belakang kehidupan pencipta karya sangatlah berpengaruh terhadap hasil karyanya. Seorang pencipta mengolah segala sesuatu melalui pikiran dan perasaannya untuk kemudian dituangkan ke dalam karyanya. Berdasarkan pada hal tersebut, maka tidaklah terlalu berlebihan jika penulis menganggap para seniman besar menjerit lewat karyanya. Konsepsi demikian tentu saja tidak dapat digeneralisasikan terhadap semua karya seni. Banyak dari mahakarya lain yang penulis anggap tidak mengandung unsur jeritan dari sang penciptanya.

Sebagai penikmat musik, khususnya musik klasik, penulis menganggap bahwa karya-karya dari para komposer musik merupakan wakil dari jeritan mereka. Entah mengapa penulis begitu meyakini konsepsi tersebut. Mungkin karena musik tersebut mampu mengafeksi dan membawa penulis mengarungi dimensi yang berbeda, karena bukanlah sebuah musik jika itu tidak dapat membawa kita ke mana-mana – sebagian teman penulis menyebutnya “musik tanah”, atau “musik permukaan”. Atau mungkin musik tersebut sebagai penggambaran yang sesuai dengan pengalaman hidup, suasana hati, ataupun impian dari penulis sendiri yang memang muncul ketika mendengarkan musik tersebut. Dengan alasan tersebut, jadilah ketika mendengarkan musik, misalnya Spring Waltz milik Chopin penulis berkata, 

“Ini adalah jeritan Chopin.” 

Ketika mendengarkan Symphony No. 9 milik Beethoven penulis berkata, 

“Ini adalah jeritan Beethoven.” 

Ketika mendengarkan Requiem milik Mozart penulis berkata,

“Ini adalah jeritan Mozart.” 

Dan tak jarang ketika penulis mendengarkan musik mereka, penulis berucap,

“Ini adalah jeritanku.”


Jakarta, 24 April 2017

Tinggalkan komentar