Ibu mencariku. Di tangannya membawa semangkuk bubur sore. Tangan kiri mangkuk, yang kanan sendok. Siap menyodokkan sesuap demi sesuap ke dalam kerongkonganku. Aku bersembunyi pada ujung dahan pohon besar yang kupanjat. Tidaklah terlalu tinggi, namun dahannya cukup panjang dan kuat. Bagian pangkal pohon itu tidak ditumbuhi dedaun. Ujung dahan yang mencabangkan ranting-ranting itulah yang banyak menggenggam daun. 

Dahan ini begitu cocok digunakan sebagai persembunyian rahasia. Daunnya yang lebat membuatku tak mudah terlihat. Mengintai dan mengawasi keadaan sekitar, walau lebih sering kugunakan untuk bersantai. Pangkal dahan untuk bersantai, ujung dahan tempat sembunyi. Walau banyak pohon-pohon besar lain yang menghuni, tapi hanya satu favoritku, yang paling besar dan ditakuti, yang saat ini jadi tempat persembunyianku. Teman-temanku sering bercerita kalau pohon ini merupakan istana para makhluk halus, jin, atau setan. Angker. Banyak orang yang mati lantaran mencoba menebangnya. Dikutuk dengan penyakit aneh sebab mengencinginya. Dahan besar yang menjulur di kerendahan, merupakan tempat yang disukai para dedemit duduk-duduk ketika malam. Katanya, banyak orang yang sudah melihat penampakan mereka. Lebih banyak yang mendengar suara-suara rintih tangis atau pekikan tawa. Tapi aku tidaklah terlalu peduli. Bagiku pohon ini merupakan material dunia manusia, jika para setan menjadikannya istana, ya tetap saja pohon untukku. Siapa pula yang awalnya menanam?

Aku memerhatikan Ibu memanggil-manggil namaku menyeru untuk makan. Mencari-cari diriku yang tengah bersembunyi ini. Sebelum sampai di pohon favoritku ini, seseorang haruslah melewati beberapa pohon lain, karena memang pohonku berdiri di antara banyak pepohonan. Sentral. Yang lain seolah menjaganya. Begitu pula Ibu. Meski dia tak tahu di mana aku sekarang, dia terus mengawasi satu per satu pohon dan melewatinya bila tak mendapati aku berada di sana. 

Semakin dekat Ibu mencapai pohonku. Hanya tinggal tiga batang pohon yang harus dilaluinya. Dari sini aku melihat seorang anak kecil yang juga bersembunyi di balik batang pohon di depanku. Aku mengetahui dari posisi tubuhnya yang begitu rapat nyaris memeluk batang pohon itu. Aku baru menyadari kehadirannya sebab sedari tadi aku hanya memerhatikan langkah Ibu. Pohon tempat anak itu bersembunyi merupakan pohon terakhir yang harus aku lewati sebelum sampai di dahan pohon favoritku ini. Dan Ibu sudah hampir mencapai pohon itu. Mata anak itu selalu mencuri-curi pandang seperti hendak mengintip orang yang sedang mencari dirinya, sama seperti yang aku lakukan kini. Tapi mungkin dia hanya bersembunyi dari temannya lantaran bermain petak umpat atau semacamnAnak itu menutup mulut dengan tangannya seperti sedang menahan tawa – menahan perasaan senang karena sudah membuat bingung orang lain – agar tidak terdengar. Perasaan itu bisa aku pahami karena sekarang aku pun juga tengah merasakannya. Tertawa keras akan membuat keberadaan kita diketahui orang lain, bukan?

Tatkala Ibu hendak melewati pohon yang dijadikan persembunyian oleh anak itu, tiba-tiba anak itu mengangetkannya. Ibu tersentak. Anak itu tertawa keras, tidak peduli lagi dengan acara sembunyi-sembunyi. Ibu langsung berlutut dan memeluk anak itu. Bergabung untuk saling tertawa. Anak itu tertawa lepas setelah berhasil mengangetkan Ibuku. Dan Ibuku tertawa puas seperti telah berhasil menemukan sosok yang dia cari. Atau mungkin mereka tertawa sebab alasan yang lain. Tapi, bukankah seorang yang dicari oleh Ibu itu adalah aku, anaknya. Siapa pula anak kecil itu, aku tidak mengenalnya. Ibu juga menyuapi anak itu dengan bubur sore yang seharusnya aku telan. Bubur sore yang menyebabkan aku bersembunyi di dahan ini. Dahan yang angker. Anak itu seolah sembunyi karena alasan yang sama denganku, bubur sore itu. Bukan, bukan karena aku tidak menyukai rasa dari bubur itu, hanya saja adalah kesenangan bagiku bila sebelum menyantapnya aku melakukan ritual bersembunyi untuk dicari sebelum disuapi. Aku tidak menyangka mengapa anak itu mengambil kesenanganku. Merebut ibuku. Menghabiskan buburku. Yang tak terbanyangkan lagi adalah ketika aku mendengar Ibu memanggil anak itu dengan namaku. Nama panjangku. Oh mungkinkah? Aku cemburu, namun aku telah dikutuk.

Jakarta, Februari 2016

Tinggalkan komentar